Banyak dikalangan masyarakat masih bertanya-tanya akan keabsahan patungan
hewan qurban, terlebih yang lain memiliki niat lain, bukan hannya qurban tapi
diniatkan aqiqah, bagaimana hukumnya?
berikut jawaban dan penjelasannya:
Jawaban dari pertanyaan diatas adalah DIPERBOLEHKAN dengan ibarot sebagai berikut:
Bahwa sejumlah orang boleh bersekutu dalam ibadah kurban pada seekor sapi. Hal ini pernah diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdullah berikut ini:
كنا نتمتع مع رسول الله صلى الله عليه وسلم بالعمرة، فنذبخ البقرة عن سبعة
نشترك فيها
Artinya, “Kami pernah ikut haji tamattu’ (mendahulukan ‘umrah daripada
haji) bersama Rasulullah SAW, lalu kami menyembelih sapi dari hasil
patungan sebanyak tujuh orang,” (HR Muslim).
Hal serupa juga diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim melalui sahabat Ibnu Abbas
RA:
كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر فحضر النحر فاشتركنا في البقرة
عن سبعة
Artinya, “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah SAW. Di tengah
perjalanan hari raya Idul Adha tiba. Akhirnya, kami patungan membeli sapi
sebanyak tujuh orang untuk ibadah kurban,” (HR Al-Hakim). Ulama Syafi’iyah
kemudian memutuskan bahwa sejumlah orang boleh bersekutu dalam kepemilikan
seekor sapi. Mereka juga boleh menyembelihnya di hari raya Idul Adha
dengan niat masing-masing.
اشتركوا في التضحية بها) أي بالبدنة ومثلها الهدي والعقيقة وغيرهما فالتقييد
بالتضحية لخصوص المقام سواء اتفقوا في نوع القربة أم اختلفوا فيه كما إذا قصد
بعضهم التضحية وبعضهم الهدي وبعضهم العقيقة وكذلك ما لو أراد التضحية وبعضهم
الأكل وبعضهم البيع ولو كان أحدهم ذميا لم يقدح فيما قصده غيره من أضحية و
نحوها
Artinya, “(Mereka bersekutu dalam ibadah kurban dengannya) maksudnya
dengan unta. Serupa dengan ibadah kurban adalah dam, aqiqah, dan selain
keduanya. Pembatasan ibadah kurban dilakukan karena kekhususan
kedudukannya, sama saja apakah mereka memiliki kesamaan dalam jenis ibadah
atau memiliki perbedaan di dalamnya. Sebagaimana bila sebagian mereka
berniat kurban, sebagian lagi berniat bayar dam, dan sebagian lainnya
bermaksud untuk menunaikan aqiqah; demikian juga kalau sebagian dari
mereka berniat kurban, sebagian lagi bermaksud untuk memakannya, dan
sebagian lainnya bermaksud untuk menjualnya. Seandainya salah seorang
peserta sekutu itu adalah dzimmi atau non-Muslim, maka itu tidak
mencederai niat peserta sekutu lainnya, baik itu niat kurban maupun niat
yang lain,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut,
Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 306).
Mereka yang bersekutu juga berhak mengambil bagiannya masing-masing dan
men-tasharruf-kannya sesuai dengan niat dan maksudnya:
ولهم قسمة اللحم لأنها قسمة إفراز على الأصح كما في المجموع وللجزار بيع حصته
بعد ذلك
Artinya, “Mereka (peserta sekutu) berhak membagi daging karena pembagian
daging itu adalah pembagian secara terpisah menurut pendapat yang shahih
sebagaimana tersebut di dalam Al-Majemuk. Petugas jagalnya juga boleh
menjual jatah bagiannya setelah itu,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri,
Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II,
halaman 306).






